Oleh:
Abhotneo Naibaho
Tak banyak pihak yang mampu
menjelaskan bagaimana sejarah marga Naibaho Sidauruk, termasuk keturunan
Naibaho Sidauruk itu sendiri. Naibaho Sidauruk sebagai saudara ketiga setelah
kedua abangnya, yaki Naibaho Siahaan – Naibaho Sitangkaraen kemudian disusul
oleh dua adiknya, yakni Naibaho Hutaparik – Naibaho Siagian.
Beberapa arti kata ‘Uruk’ dalam bahasa batak, di antaranya;
tulang
daun. huta uruk, nama daerah
dan nama marga. Selain Naibaho
Sidauruk, kata ‘Uruk’ juga diadopsi oleh beberapa rumpun marga lain, seperti:
Sidauruk, Manihuruk, Sinaga Uruk, Hutauruk, dan mungkin masih ada marga lainnya
yang menggunakan kata ‘Uruk’ yang masih
belum diketahui.
Kembali ke Marga Naibaho
Sidauruk, atau ada juga yang menyebut Siuruk Raja, sejarah menurut beberapa
literatur mencatat bahwa pertama sekali ia menetap (bermukim) di daerah Tajur –
Pangururan, yang jaraknya tak jauh dari topi Tao Toba (tepian Danau Toba).
Sebutan Marga dalam tradisi orang
batak juga erat kaitannya dengan nama daerah atau parhutaan. Hal tersebut
terbukti, bahwa di Pangururan, keempat Marga Naibaho lainnya (selain Naibaho
Sidauruk) terdapat nama kampung (parhutaan/lingkungan) di Kota Pangururan.
Hanya saja, menjadi pertanyaan (misteri) hingga kini, mengapa tidak ada nama
kampung Naibaho Sidauruk.
Saya sendiri pernah menanyakan
soal ‘ketiadaan’ nama kampung Naibaho Sidauruk kepada keempat keturunan Naibaho
lainnya, dan mereka juga tak bisa menjawab alias tak paham hal tersebut.
Jika keempat nama kampung Naibaho
tersebut masih bisa diketemukan secara kasat mata di Pangururan, pertanyaannya;
Di manakah kampung Naibaho Sidauruk berada? Tentu, ketiadaan nama kampung
Naibaho Sidauruk tentu menyisakan pertanyaan bagi keturunannya bukan?
Tidak hanya ketiadaan nama
kampung, soal lain juga, jumlah bilangan keturunannya tidak sebanyak keturunan
keempat Marga Naibaho lainnya. Dengan minimnya keturunan Naibaho Sidauruk,
hingga kini ketika keturunannya bertemu satu sama lain di manapun, khususnya di
tano parserahan (perantauan), membuat di antara mereka ada rasa rindu yang
teramat sangat.
Di sisi lain juga, masih soal
jumlah bilangan keturunan di antara keturunan Naibaho Sidauruk masih terdapat
semacam ‘Gap’ (jurang pemisah) yang jika diperhatikan dengan jeli, sepertinya
kurang kompak (solid) meski jarak keberadaannya berdekatan satu sama lain.
Menyikapi hal itu, tentu barangkali ada persoalan di masa lalu di antara
nenek-moyang yang masih terbawa-bawa hingga pada kondisi saat ini. (Sudah seharusnya ada rekonsiliasi, jika ada!)
Bagi saya pribadi, sebagai
generasi muda atau generasi kini (zaman now), apapun bentuk persoalann di masa
lampau oleh leluhur tidak seharusnya masalah tersebut dibawa-bawa atau menjadi
‘pemisah’ di antara keturunannya. Yang terpenting saat ini adalah, bagaimana
keturunan Naibaho Sidauruk yang jumlah bilangan keturunannya tidak sebanyak
keempat Naibaho lainnya bisa tampak kompak satu sama lain untuk menjunjung
tinggi nama Ompung Naibaho Sidauruk.
Jika hal tersebut kita upayakan
dengan sungguh-sugguh, maka marwah Opung Naibaho Sidauruk semakin bersinar dan
besar. Juga termasuk kepada keturunan marga Naibaho Sidauruk itu sendiri maka
akan ada kebahagiaan dan sukacita oleh karena adanya persaudaraan yang kuat di
antaranya.
Terakhir, dalam tulisan saya yang
singkat ini, izinkan saya menutupnya dengan sebuah pantun sederhana, yang
berbunyi demikian:
Jalan-jalan
ke Pasar membeli jeruk
Semoga
buahnya manis seperti keturunan Naibaho Sidauruk
Jika
dulunya mungkin ada persoalan yang buruk
Bolehlah
kita duduk bersama seraya menyantap jagal manuk
1 Komentar
horas pra dia jo nomornu
BalasHapus